Berita
Kehidupan Orangutan di Alam Harusnya Bebas Ancaman
Tiga individu orangutan menempati habitat baru di Taman Nasional Betung Kerihun – Danau Sentarum (TNBK-DS), setelah ditetapkan sebagai kawasan pelepasliaran orangutan (Pongo pygmaeus). Ini merupakan pelepasliaran pertama sejak kawasan tersebut ditetapkan sebagai hunian baru satwa terancam punah tersebut.
Hasudungan Pakpahan, manager Sintang Orangutan Center, mengatakan, tiga orangutan tersebut bernama Juvi (9 tahun), Jojo (8 tahun), dan Cemong (5,5 tahun). Juvi mulai menjalani proses rehabilitasi sejak Mei 2015, setelah dievakuasi dari Sintang. Sedangkan Jojo dievakuasi dari kampung Tembak (2014), dan Cemong sejak Mei 2015, dievakuasi dari Sekadau.
“Ketiganya sudah menjalani perawatan di Yayasan Penyelamatan Orangutan Sintang (YPOU), sehingga telah terlatih untuk hidup di alam bebas,” jelasnya.
Kepala Bidang Teknis Balai Besar TNBKDS Ahmad Munawir menambahkan, lokasi pelepasliaran adalah kawasan hutan Sungai Rongun, di Daerah Aliran Sungai Mendalam. “Lokasinya aman dari perburuan dan pelepasliaran ini mendapat dukungan penuh masyarakat sekitar.”
DAS Mendalam luasnya 157.859 hektar yang 97.217 hektar berada di TNBK-DS. Hasil kajian Forina menunjukkan, kapasitas dukung habitat orangutan di wilayah ini mencapai 149 hingga 412 individu.
“Pelepasliaran merupakan upaya pihak TNBK-DS untuk meningkatkan populasi orangutan yang langka dan terancam punah,” tegas Munawir. Rencananya, dalam waktu dekat, akan ada pelepasan berikutnya dari YPOU.
Yayasan Penyelamatan Orangutan Sintang dikenal juga dengan Sintang Orangutan Center. “Awalnya, ini program untuk menyelamatkan orangutan yang banyak dipelihara masyarakat,” lanjut Dudung. Ada kekhawatiran primata tersebut keluar dari Indonesia, mengingat Sintang daerah perbatasan, menuju Malaysia dan Brunei Darussalam.
Umumnya, orangutan yang ada di pusat rehabilitas YPOS hasil penyerahan masyarakat. Tapi ada satu bayi yang ditemukan di tepi hutan tanpa induk. Saat ini, terdapat 33 orangutan yang masih menjalani rehabilitasi. Usianya bervariasi dari 2 hingga 18 tahun.
“Kami ingin masyarakat berperan aktif menyelamatkan orangutan,” ujarnya baru-baru ini.
Kawasan Ekosistem Esensial
TNBK-DS sebagai wilayah pelepasliaran dikuatkan dengan penetapan kawasan Labian-Leboyan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Koridor Orangutan Kapuas Hulu, pada 20 Oktober lalu. Kebijakan Pengelolaan KEE ini merupakan inisiatif Direktorat KSDAE Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pihak yang menandatangani protokol kerja sama tersebut adalah Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum, dan WWF-Indonesia.
Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial KLHK, Antung Deddy Radiansyah mengatakan, ekosistem esensial ditetapkan sebagai kawasan dilindungi dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip konservasi. “Kawasan ini ada dalam satu atau lebih wilayah administratif,” katanya.
Ekosistem esensial bisa dimaknai sebagai ekosistem di luar kawasan konservasi. Kawasan ini, secara ekologis, sosial ekonomi dan budaya memiliki nilai penting bagi konservasi keanekaragaman hayati. Cakupannya bisa ekosistem alami dan buatan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan.
Namun, sebagian besar kawasan berpotensi KEE, telah dikelola untuk berbagai kepentingan. Misalnya, prasarana jalan dan pelabuhan, pengembangan pertanian dan perkebunan, perluasan permukiman dan berbagai kebutuhan pembangunan lainn. “Kita perlu dukungan berbagai pihak dalam upaya konservasi sumber daya alam dan ekosistem, baik di dalam maupun luar kawasan hutan,” terangnya. Berdasarkan dokumen Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial KLHK, cakupan KEE meliputi mangrove, karst, koridor, dan areal bernilai konservasi tinggi (ABKT).
Manajer Program Kalbar WWF-Indonesia Albertus Tjiu mengatakan, Kapuas Hulu telah ditetapkan sebagai Kabupaten Konservasi melalui Perda No. 20 tahun 2015. “Kebijakan ini membutuhkan sentuhan tata kelola yang tepat, agar proses pembangunan berjalan berkelanjutan,” katanya.
Arah pengelolaan Kapuas Hulu bertumpu pada tiga pilar pembangunan. Ketiganya adalah Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) Agropolitan dari sudut kepentingan ekonomi, KSK Ekowisata dari sudut kepentingan lingkungan dan ekonomi, dan KSK Koridor dari sudut kepentingan lingkungan.
Saat ini, kata Albert, para pemangku kepentingan telah menyepakati protokol kerja sama dan menetapkan Koridor Labian-Leboyan sebagai KEE Koridor Orangutan Kapuas Hulu. “Kenapa Labian-Leboyan? Kita sudah kaji kawasan itu memiliki fungsi hidrologis tinggi. Fungsi ekosistem teresterialnya juga baik. Kawasan itu menjadi identitas sosial budaya dan ekonomi masyarakat, serta jalur migrasi orangutan,” jelasnya.
WWF-Indonesia juga mendeteksi keberadaan orangutan di sepanjang 70 kilometer kawasan penghubung TNBK dan TNDS yang jumlahnya sekitar 680 individu. Melalui penandatanganan protokol KEE Koridor Orangutan di Kapuas Hulu, Albert berharap para pemangku kepentingan dapat membangun komunikasi dalam hal pengelolaannya. “Pembangunan sosial ekonomi, infrastruktur pemerintah, dan kepentingan umum dapat dilakukan dalam rencana aksi pengelolaan KEE,” jelasnya.
Sumber: http://www.mongabay.co.id/2017/12/04/kehidupan-orangutan-di-alam-harusnya-bebas-ancaman/