Kesehatan
Pertanyaan Seputar Penularan COVID-19 di Sekolah
Karena itu, sejak wabah virus corona merebak, hampir semua negara menutup sekolah dan memberlakukan pembelajaran jarak jauh. Namun beberapa negara telah mulai memberikan kelonggaran berupa pembukaan sekolah, khususnya di zona hijau. Di satu sisi, sekolah tatap muka memang metode belajar paling ideal. Di sisi lain, masih ada risiko penularan COVID-19 di sekolah.
Apa Manfaat Pembukaan Kembali Sekolah?
Kementerian Pendidikan menyatakan pembelajaran jarak jauh berdampak pada turunnya hasil belajar siswa. Sebab, proses belajar-mengajar secara online belum dapat seefektif pembelajaran tatap muka. Guru mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi pelajaran. Demikian pula siswa, yang susah menangkap materi karena banyaknya keterbatasan. Apalagi siswa yang tinggal di daerah yang sulit atau tak terjangkau teknologi Internet.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) pun menyebutkan penutupan sekolah akibat COVID-19 memiliki efek negatif pada kesehatan, pendidikan, dan perkembangan anak, juga penghasilan keluarga dan ekonomi secara keseluruhan. Di Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia pun mendapati peningkatan kekerasan terhadap anak oleh orang tua selama masa pembelajaran jarak jauh.
Karena itu, banyak pihak mendesak pembukaan kembali sekolah. Merespons hasil studi tentang efektivitas sekolah online dan dampaknya terhadap anak, Kementerian Pendidikan menerbitkan kesepakatan bersama kementerian lain untuk mengizinkan sekolah dibuka kembali pada 2021. Dengan pembukaan ini, diharapkan semua pihak terkait bisa memperoleh manfaatnya, terutama berkaitan dengan pendidikan anak-anak.
Meski demikian, ada sejumlah syarat yang mesti dipenuhi untuk bisa membuka sekolah kembali. Syarat ini bertujuan mencegah penularan COVID-19 di sekolah. Di luar negeri pun sekolah yang telah dibuka dengan protokol kesehatan ketat masih mencatat adanya penularan sehingga pemerintah setempat memutuskan kembali menutup sekolah tersebut.
Apakah Anak-anak Berisiko Lebih Rendah Terkena COVID-19 dibanding Orang Dewasa?
Hingga saat ini, belum diketahui pasti risiko infeksi COVID-19 pada anak-anak. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan dari jumlah total penderita COVID-19 di seluruh dunia, sebanyak 8,5 persen merupakan anak-anak berusia di bawah 18 tahun. Angka kematiannya pun lebih sedikit dan biasanya gejalanya lebih ringan. Namun tetap ada laporan pasien anak-anak yang kritis.
Sejumlah penelitian terbatas yang dilakukan oleh sejumlah negara mendapati risiko anak tertular COVID-19 lebih kecil ketimbang orang dewasa. Anak yang diteliti antara lain yang berumur di bawah 18 tahun, 15 tahun, dan 9 tahun. Namun, berbeda dengan anak usia di bawah 1 tahun, risiko terkena COVID-19 lebih besar.
Salah satu faktor yang mungkin mempengaruhi risiko itu adalah sistem kekebalan anak. Pada anak usia di bawah 1 tahun, sistem kekebalannya masih lemah sehingga lebih rentan tertular COVID-19. Sedangkan anak yang lebih besar sudah sering diserang berbagai virus dan bakteri sehingga daya tahan tubuhnya lebih terlatih. Walau begitu, kemungkinan ini masih butuh penelitian lebih lanjut.
Bagaimanakah Peran Anak-anak dalam Penularan COVID-19 di Sekolah?
Menurut WHO, peran anak-anak dalam penularan COVID-19 secara umum belum sepenuhnya dipahami. Hingga saat ini, sejumlah kluster muncul di sekolah-sekolah di berbagai negara. Kluster lain juga terjadi dan melibatkan anak di dalamnya. Lantaran biasanya gejala pada anak lebih sedikit dan sakitnya tidak terlalu parah, kasus positif kadang tak terdeteksi. Data studi awal pun menunjukkan tingkat penularan di kalangan remaja lebih tinggi ketimbang pada anak berusia lebih muda.
Evaluasi terhadap peran anak dalam penularan COVID-19 masih berjalan. Terlebih banyak negara sudah perlahan melonggarkan pembatasan aktivitas. Yang pasti, kesadaran anak untuk menerapkan protokol kesehatan secara umum lebih rendah ketimbang orang dewasa. Hal ini bisa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi peran anak-anak dalam penularan COVID-19 di sekolah.
Berapa Masa Inkubasi atau Isolasi Mandiri untuk Anak-anak Yang Terinfeksi COVID-19?
Masa inkubasi virus corona pada anak-anak sama dengan orang dewasa. Adapun jarak antara paparan COVID-19 dan munculnya gejala pertama kali rata-rata 5-6 hari, selambatnya 14 hari. Meski demikian, ada laporan periode inkubasi virus ini bisa mencapai 24 hari. Karena itu, lama isolasi mandiri bagi anak juga sama dengan orang dewasa.
Baik anak maupun orang tua mesti mematuhi pedoman mengenai karantina dan isolasi mandiri terkait dengan COVID-19 bila ada dugaan tertular. Sebaiknya segera menghindari kontak langsung dengan anggota keluarga lain yang memiliki penyakit bawaan atau komorbid yang serius.
Bila memungkinkan, anak bisa menjalani isolasi mandiri di rumah. Risiko penularan COVID-19 dari anak selama masa isolasi tetap ada sehingga orang tua yang merawat masih harus menerapkan protokol kesehatan ketat hingga isolasi selesai.
Haruskah Anak dengan Kondisi Kesehatan Tertentu (Penyakit Komorbid) Boleh Kembali ke Sekolah?
Keputusan membolehkan anak kembali ke sekolah bergantung pada situasi penularan COVID-19 di lingkungan terkait, kesiapan sekolah dalam memberikan perlindungan, dan kesehatan anak itu sendiri. Bila ada masalah kesehatan yang membuat anak lebih rentan terhadap penularan COVID-19 di sekolah, orang tua sebaiknya memilih pembelajaran jarak jauh dulu.
Namun penyakit penyerta pada umumnya tidak ada atau belum muncul pada anak usia sekolah. Komorbid lebih banyak didapati pada orang dewasa, termasuk orang tua siswa. Itu sebabnya keputusan membuka kembali sekolah di tengah pandemi membutuhkan peran serta semua pemangku kepentingan.
Orang tua dan masyarakat umum wajib terus mematuhi protokol kesehatan guna mencegah penularan pada anak-anak siswa sekolah. Sebab, anak pun bisa terinfeksi virus di rumah atau di jalan saat perjalanan pergi atau pulang sekolah. Dengan begitu, risiko penularan COVID-19 di sekolah bisa lebih ditekan.
Haruskah Guru dan Staff dengan Kondisi Kesehatan (Penyakit Komorbid) Boleh Kembali ke Sekolah?
Orang dewasa berusia 60 tahun ke atas dan masyarakat yang memiliki penyakit komorbid lebih berisiko sakit parah dan meninggal ketika terinfeksi virus corona. Maka aturan pembukaan kembali sekolah mesti mengacu pada data tersebut. Hasil penelitian teranyar menunjukkan ada beberapa penyakit penyerta yang membuat risiko sakit lebih besar, antara lain:
- Asma (sedang hingga berat)
- Obesitas
- Diabetes
- Kanker
Panduan dari pemerintah menyatakan guru dan staf bisa kembali ke sekolah asalkan sehat. Adapun bila ada penyakit komorbid, mesti dipastikan bahwa penyakit itu dalam kondisi terkendali.
Sumber: https://primayahospital.com/covid-19/pertanyaan-seputar-penularan-covid-19-di-sekolah/