Berita
Pulau Bangka tak Sekadar Timah, Ada Ekowisata Mangrove dan Penangkaran Penyu
Sesaat sebelum mendarat di Bandara Depati Amir di Kota Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung (Babel), tampak dari balik jendela pesawat terlihat aktivitas pertambangan. Benar, pemandangan yang terlihat adalah pertambangan timah. Berdasarkan sejarah yang tercatat di Museum Timah di Kota Pangkalpinang, bukti-bukti timah mulai ditambang pada tahun 1700-an serta semakin massif pada 1800-an. Hingga kini, pertambangan timah terus berlangsung. Makanya dari udara tampak jelas areal yang tidak lagi menghijau. Tampaknya pepohonan telah ditebang dan dibuka lahannya untuk pertambangan timah.
Apakah benar cerita Pulau Bangka hanya soal tambang? Ternyata tidak. Bangka ternyata juga menyimpan pesona lain yakni lingkungan yang asri. Salah satunya adalah hutan mangrove di Sungai Munjang di Desa Kurau Barat, KecamatanKoba, Kabupaten Bangka Tengah. Untuk berkeliling ke mangrove yang dijadikan ekowisata sejak Juli 2017 silam itu, harus menggunakan perahu. Jadi setelah masuk kawasan mangrove Munjang, pengunjung bakal ditawari untuk berkeliling dengan menggunakan perahu yang berisi 10 penumpang. Biayanya cukup murah, hanya Rp10 ribu setiap orang.
Begitu naik ke perahu, pengunjung akan melewati aliran Sungai Munjang dengan pemandangan kanan kiri hutan mangrove. Setelah sekitar 10 menit naik perahu, tibalah di lokasi jalan-jalan di kawasan hutan mangrove. Di hutan wisata itu, pengelola telah membuat jembatan kayu yang mengelilingi kawasan bakau.
Yang menarik, di kawasan setempat telah dibuat berbagai macam kampanye lingkungan yang intinya mengajak mencintai alam. Tidak hanya itu, ada papan edukasi yang menerangkan mengenai berbagai jenis mangrove yang ada di areal tersebut. Bagi kalangan milenial, pengelola juga menyiapkan “selfie deck” maupun gardu pandang untuk melihat sekeliling kawasan hutan.
Di kawasan hutan setempat, ada sejumlah flora yang ditemukan di antaranya adalah peterpat (Sonneratia alba), bakau minyak (Rhizophora apiculata), bakau tampusing (Brugueira sexangula), bakau tengar (Ceriops decandra) serta Biduri (Calotropis gigantea). Selain itu juga ditemukan nipah (Nypa fruticans), Nyirih (Xylocarpus granatum), perepat lanang (Scyphiphora hydrophyllacea), waru laut (Hibiscus tiliaceus) serta Bintan (Cerbera manghas).
Salah seorang pengunjung, Agus, mengatakan kalau kunjungannya ke hutan mangrove di Bangka itu cukup mengesankan. “Meski baru dibuka setahun lalu, tetapi hutan mangrove Munjang cukup menarik perhatian dan pengunjung yang datang. Mungkin karena di sini asri dan rindang sehingga panasnya Bangka tidak terlalu terasa kalau di kawasan mangrove ini,”ungkapnya.
Ia mengatakan kalau ekowisata mangrove di kawasan itu mampu memberikan suasana berbeda di Pulau Bangka. “Kita tahu, kalau Bangka identik dengan penambangan timah. Penambangan dan udara yang cukup panas membuat warga membutuhkan situasi yang berbeda. Nah, mangrove Munjang ini menjadi salah satu jawaban tempat kalau ingin melepas penat,”katanya.
Wisatawan asal Pangkalpinang, Alfin mengungkapkan ia sengaja datang bersama keluarganya untuk menikmati sejuknya mangrove pada saat liburan. “Begitu masuk ke hutan mangrove, situasi dan suasananya begitu lain. Seperti bukan berada di Pulau Bangka. Kami berharap ke depan, pengelola semakin memperluas kawasan ekowisata mangrove. Karena saya lihat, lokasi ini masih cukup sempit padahal hutan mangrove secara keseluruhan cukup luas,”ujarnya.
Memang, berdasarkan data data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Babel, kawasan hutan mangrove di Kurau Barat luasannya mencapai 213 hektare. Hanya yang baru dikelola seluas 30%. Kawasan itu baru diresmikan oleh Gubernur Provinsi Babel Erzaldi Rosman Djohan pada 27 Juli 2017 silam. Di kawasan setempat juga terdapat lokasi pengembangbiakan udang dan kepiting. Para wisatawan yang datang dapat menikmati hasil budidaya kepiting dan udang. Jadi, selain bernilai ekonomis baik wisata dan budidaya, mangrove juga sangat penting untuk pengikisan air laut.
Junaedi, salah seorang warga setempat menerangkan bahwa dulunya kawasan itu sesungguhnya merupakan jalur nelayan yang mencari ikan dan sebagai dermaga. Namun, setelah pindah, maka aktivitas nelayan di lokasi setempat menjadi sepi. Sehingga kini menjadi ekowisata. “Di sini juga menyediakan bibit mangrove yang sengaja dikembangkan oleh pengelola. Biasanya, para pengunjung boleh membawa bibit mangrove secara gratis,” katanya.
Tidak hanya ekowisata mangrove Munjang yang memberikan edukasi soal lingkungan, tetapi juga tempat penangkaran penyu yang berada di Pantai Tongaci, Sungailiat, Bangka. Tukik Babel, demikian nama dari lokasi konservasi penyu. Inisiatif penyelamatan penyu dilakukan karena populasi penyu yang semakin menurun. Mulai tahun 2008, dengan inisiatornya Sian Soegito yang rela merogoh kocek sendiri untuk memulai penyelamatan penyu.
“Dalam empat tahun pertama penangkaran, ada tempat penetasan dan tempat tukik atau anak penyu. Kami memindahkan tukik-tukik tersebut di dalam kolam. Tetapi ternyata selama dua bulan di dalam kolam, kami menemukan fakta kalau tukik tidak begitu aktif karena diberi makan. Oleh karena itu, kami kemudian melepasliarkan mereka dari atas perahu,”demikian pernyataan resmi dari pengelola melalui situs resminya www.tukikbabel.com.
Pada 2010, pihaknya mendapati kalau ada telur-telur penyu yang dijual di pasar untuk dikonsumsi. Pada awalnya, ia membelinya untuk ditetaskan. Ternyata, telur yang telah dijual di pasar tidak dapat menetas. Sehingga tahun-tahun berikutnya, telur-telur yang ada di pantai diselamatkan agar tidak dijual ke pasar untuk ditetaskan.
“Tahun 2012 lalu, kami memutuskan untuk memindahkan lokasi penangkaran ke Pantai Tongaci hingga sekarang. Kami membuat lokasi penangkaran cukup besar untuk penyelamatan penyu. Pada 2013, kami memutuskan untuk melepas penyu ke laut yang jauh dari lokasi penambangan timah. Di lokasi penangkaran, kami menyisakan 20 ekor penyu untuk dilihat para pengunjung,”ungkapnya.
Sejumlah spesies yang ada di lokasi penangkaran tersebut adalah penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Spesies itu merupakan dua dari tujuh spesies penyu yang terancam punah di muka bumi. “Kami peduli, apalagi pada beberapa dekade terakhir, perburuan telur semakin meningkat. Dari referensi yang ada, dari 1.000 ekor tukik yang menetas, hanya ada satu ekor tukik yang berkembang hingga umur delapan tahun atau dewasa,”katanya.
Salah seorang pengunjung, Wahyono mengaku kagum dengan penangkaran tukik dan penyu yang ada di Pantai Tongaci tersebut. “Terus terang saya kagum dengan konsep wisata yang juga mengembangan edukasi kepedulian terhadap lingkungan seperti ini. Kami bisa melihat langsung penyu dan tukik serta mengamati bagaimana proses perkembangbiakan penyu. Di sisi lain, ada poster-poster yang mengajak peduli terhadap kehidupan tukik dan penyu. Salah satu posternya adalah bagaimana ternyata penyu yang mati karena di dalamnya banyak sekali sampah plastik yang masuk dalam pencernaan penyu. Hal-hal inilah yang menurut saya sangat baik sebagai pendidikan lingkungan,”kata Wahyono.
Dengan adanya dua obyek wisata itu membuktikan bahwa Pulau Bangka tak hanya sebagai pulau timah yang menggerus daya dukung lingkungan. Masih ada obyek wisata alam sebagai oase hijau di tengah pulau yang terus dieksploitasi timahnya.
Sumber: http://www.mongabay.co.id/2018/12/01/pulau-bangka-tak-sekadar-timah-ada-ekowisata-mangrove-dan-penangkaran-penyu-seperti-apa/